Rapat |
Di tengah perubahan zaman yang
pesat, sudah seharusnya Indonesia memikirkan pertahanan dari serangan
teknologi, ideologi, penguasaan ekonomi, dan politik. Walau demikian,
bukan berarti mengabaikan pentingnya persenjataan militer, karena
perekonomian bisa maju jika negra berwibawa.
"Kalau beli tank
Leopard, negara mana yang akan kita serang? Juga, negara lain mana yang
akan menyerang kita? Sekarang ini seharusnya fokusnya lebih ke
penguasaan teknologi, ideologi, ekonomi, dan politik dari dalam," kata
mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, ketika menjadi pembicara utama dalam
seminar Musyawarah Nasional I. Acara itu digelar Think anda Act for
National Defense (Tandef) dan Ikatan SMU Taruna Nusantara dengan tema
"Mewujudkan Masyarakat Sadar Pertahanan" di Gedung Perintis Kemerdekaan,
Jakarta, Minggu (12/5/2013).
Hadir dalam diskusi tersebut selain
Jusuf Kalla adalah mantan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Darat Letjen
TNI (Purn) Kiki Syahnakri, pengamat pertahanan dan militer Connie
Rahakundini Bakrie, dan pengamat politik dan militer Kusnanto Anggoro,
dengan moderator pakar komunikasi Effendi Gazali.
Menurut Jusuf
Kalla, seharusnya kita sudah fokus untuk memikirkan pertahanan di bidang
ideologi, ekonomi, dan politik dengan basis penguasaan teknologi.
"Perang tak lagi perlu kekuatan besar. Zaman dulu tentara tewas 10.000
itu biasa, sekarang satu orang tewas bisa menjadi isu besar," kata
Kalla.
Begitu mahal nyawa saat ini karena manusia adalah
pengendali teknologinya. Namun, hingga saat ini, Indonesia belum masuk
ke arah itu karena masih terseok-seok dengan pertahanan konvensional.
"Apa yang dibutuhkan dewasa ini adalah penguasaan teknologi, politik, diplomasi, dan ideologi," kata Kalla.
Amerika
Serikat (AS) bisa saja menyerang negara mana saja, namun terbukti
perang ideologi bisa membuat kalang kabut AS. Tak ada yang bisa
mendefinisikan kapan ideologi itu akan menyerang, sehingga Bom Bostin
pun pecah tanpa antisipasi.
Jepang membuktikan, dia bisa menguasai
negara lain dengan kekuatan ekonomi atau teknologi. Ekonomi memang
memegang peranan penting untuk bisa hidup tegak berwibawa, sejajar
dengan bangsa lain dan sejahtera. "Sekarang uang kita habis untuk beli
bensin, sehingga bagaimana kita bisa mewujudkan kesejahteraan?" kata
Kalla.
Pertahanan itu juga terkait kemauan kita dalam penguasaan
teknologi, termasuk kemauan kita untuk tidak korupsi. Namun, bukan
berarti Kalla mengabaikan pertahanan militer. "Ekonomi bisa kuat kalau
negara berwibawa. Kalau negara tak memiliki persenjataan kuat, bagaimana
kita bisa menghalau pencuri ikan di lautan? TNI harus kuat, orangnya
dan persenjataannya," papar Kalla.
Mempersenjatai tentara memang
butuh ekonomi yang kuat. Namun sebenarnya, jika punya politik diplomasi
yang canggih, bisa dilakukan dengan memakai hubungan strategis dengan
negara lain. Dengan hubungan yang strategis dengan negara lain,
Indonesia bisa mendapatkan persenjataan yang kuat dengan harga
fleksibel.
Kalla juga mengingatkan, 10 dari 15 konflik yang
terjadi itu akibat ketidakadilan ekonomi dan politik. "Papua disamping
sparatisme ada ketidakadilan. Di Aceh, apa yang terjadi bukan soal
agama tapi tentamg ketidakadilan," kata Kalla.
Untuk mengurai
persoalan bangsa yang begitu pelik, menurut Kalla, kita membutuhkan
pemimpin demokratis yang bisa memahami, punya visi ke depan, bertanggung
jawab, bisa mempengaruhi orang, bisa menjalankan kebijakan populer
maupun tan populer. Kalla mencontohkan, dulu ketika BBM naik 160 persen,
tak ada protes yang berarti.
Sementara ketika pemerintahan
sekarang akan menaikkan BBM 30 persen, banyak demo terjadi di mana-mana.
"Ini cara menjelaskan yang salah dan teknik mempengaruhi orang, enggak
perlu diktator," kata Kalla.
Indonesia harus memiliki visi ke depan. Walaupun musuh bersama (common enemy) tak ada, kita perlu merumuskan common objective
atau tujuan bersama yaitu kemajuan bangsa. Kalla mencontohkan
keberhasilan dalam menggalang kampanye komodo sebagai bagian warisan
dunia yang harus dilestarikan.
"Saat itu, 40 hari sebelum
pengumuman, ada panitia yang datang meminta tolong dibantu karena suara
untuk komodo baru mendapat 60.000-an," kata Kalla.
Kemudian Kalla
menyanggupi terlibat dan menjelaskan kepada masyarakat bahwa komodo ini
bukan hanya untuk kepentingan komodo saja, tapi bisa berimplikasi pada
kesejahteraan Indonesia, misalnya dengan banyaknya turis yang datang
sehingga ekonomi bisa berkembang.
Dengan penjelasan yang logis
seperti itu, komodo akhirnya langsung mendapatkan 300 juta suara dalam
tempo 40 hari. "Jadi, tak harus punya common enemy dulu, kita bisa buat common objective untuk tujuan bersama," kata Kalla. sumber kompas.
0 comments:
Post a Comment